Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kenangan-kenangan Remeh

- Oleh Ihsan Maulana

Minggu pagi, tahun 1990. Seorang anak kelas dua sekolah dasar menenteng sebuah keranjang menyusuri ladang-ladang jagung penduduk yang baru saja panen. Dia dan saudara sepupunya memungut sisa-sisa jagung yang tak terambil oleh si empunya. Barangkali memang sengaja dibuang.

Anak itu terus menyusuri ladang-ladang yang luas itu dengan bertelanjang kaki. Memunguti jagung-jagung afkiran yang secara bersembunyi-sembunyi. Matanya memindai ke sana kemari, adakah jagung buangan lain yang bisa diambil?

Hingga terdengarlah azan Duhur. Bocah itu pun pulang. Dia salat Duhur. Lalu kembali ke sekeranjang jagungnya. Dia serius memisahkan jagung-jagung itu dari benggelnya. Kemudian, dia bergegas menuju toko yang menjual jagung. Bukan untuk membeli jagung, melainkan untuk menukarnya dengan sebuah pulpen "pilot" yang sangat didambakannya dan sebuah buku tulis yang akan dipakainya selama setahun untuk semua mata pelajaran.

Anak itu tersenyum senang saat pulang. Dan dia melanjutkan bermain layangan di tengah teriknya mentari.

Ya, Anda benar! Bocah itu adalah saya, teman-teman. Entah mengapa saya tiba-tiba teringat kenangan konyol itu. Saya hanya tersenyum-senyum mengingat masa susah itu.

Tapi bukankah kita sama-sama tahu, kerap peristiwa-peristiwa remeh seperti itu yang mengajarkan kita arti kata “perjuangan”, lebih akurat dibanding kamus-kamus besar manapun. Dari kenangan-kenangan yang terlihat tidak penting itu, niscaya kita lebih bisa menikmati hidup saat ini.

Dan yang terpenting, kita jadi punya cerita untuk mencairkan suasana, ketika suatu saat nanti anak atau cucu kita ngambek hanya karena tidak dibelikan buku komik.

Post a Comment for "Kenangan-kenangan Remeh"